-Filosofi di balik
Aksara jawa
Diakui atau tidak,
aksara Jawa
merupakan alfabet
paling unik di dunia ini.
Ditinjau dari jumlah,
aksara ini terdiri dari 20
jenis huruf yang
melambangkan 20 jari
manusia. Jari merupakan
alat hitung manusia yang
paling sederhana. Hal ini
melambangkan bahwa
dalam menjalani
kehidupannya, orang
Jawa selalu
menggunakan
perhitungan yang
matang sebelum
melangkah.Deretan
kedua puluh aksara Jawa
tersebut yaitu:
Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Wa La
Pa Dha Ja Ya
Nya Ma Ga Ba Tha Nga
Entah kebetulan atau
disengaja, deretan huruf
di atas ternyata bukan
deretan huruf tanpa
makna, tetapi
membentuk empat
kalimat yang
mengandung filosofi luar
biasa, yaitu
melambangkan
perjalanan hidup
manusia.
Ha-na-ca-ra-ka , jika
dibaca Hana Caraka
akan bermakna
”ada
utusan”. Siapa yang
dimaksud dengan utusan
tersebut? Tidak lain
adalah manusia. Berbeda
dengan pendapat umum
bahwa utusan Tuhan
hanya terbatas para
rasul saja, bagi orang
Jawa setiap manusia
adalah utusan Tuhan.
Setiap manusia
berkewajiban
hamemayu
hayuning bawana , atau
menjaga kelestarian
alam, memakmurkan
bumi, menciptakan
kedamaian dan
keselamatan di alam
dunia.
Da-ta-sa-wa-la ,
jika dibaca Dat-a-suwala
akan bermakna
”Dzat
yang tidak boleh
dibantah”. Siapa yang
dimaksud? Tidak lain
adalah Tuhan Yang
Maha Esa.
Pa-dha-ja-ya-nya ,
jika dibaca Padha Jayane
akan bermakna
”sama-
sama unggulnya” . Siapa
yang sama unggulnya?
Yaitu jasmani dan rohani.
Dalam menjalankan
perannya sebagai utusan
Tuhan, manusia wajib
menjaga keseimbangan
antara urusan jasmani
dan rohani. Seorang
manusia tidak
dibenarkan berkarya
tanpa dilandasi niat
ibadah, karena bekerja
dengan cara tersebut
hanya melahirkan
keserakahan yang
membuatnya keluar dari
tujuan hidup yang
sebenarnya.
Sebaliknya,,,manusia juga
tidak dibenarkan
melakukan sembahyang
saja tanpa disertai
bekerja. Orang yang
melakukan sembahyang
tanpa kerja
sesungguhnya termasuk
golongan egois. Dia
hanya mementingkan diri
sendiri dengan harapan
ingin masuk surga tetapi
tidak peduli dengan
lingkungan sekitarnya,
termasuk keberadaan
tubuhnya. Seorang
manusia sempurna
(insan
kamil) adalah dia yang
bisa bekerja dengan
dilandasi semangat
ibadah kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Yang
lebih menarik, orang
Jawa dalam beribadah
tidak mengharapkan
pahala, karena
semboyan hidup mereka
adalah
narima ing
pandum. Menerima
pemberian-Nya. Sekali
lagi,
”menerima” bukan
”mengharapkan”.
Ma-ga-ba-tha-nga,
merupakan singkatan
dari
Sukma-Raga-
Bathang yang bermakna
”Ruh-Tubuh-Bangkai”.
Maksudnya ialah kalimat
ini merupakan akhir dari
perjalanan manusia
sebagai
khalifah Tuhan di
bumi. Jika ruh
meninggalkan tubuh,
maka yang tersisa hanya
tinggal bangkainya saja.
Dalam keadaan ini
manusia sudah tidak lagi
disebut manusia, karena
eksistensinya telah
berakhir. Kalimat
terakhir ini mengingatkan
manusia agar tidak
terlalu membanggakan
dirinya, karena jika Sang
Ruh pergi meninggalkan
tubuhnya, maka yang
tersisa hanya tinggal
bangkai saja. Kalimat ini
mengingatkan manusia
bahwa tubuh hanyalah
kendaraan bagi Sang
Ruh dalam menjalankan
perannya sebagai utusan
Tuhan. Tanpa ruh, raga
hanyalah bangkaiyang
tidak berarti.